SAAT mentari pagi menyinari hamparan hijau di Batubi, Marsam (60) sudah sibuk di ladang kecilnya. Dengan tekun, ia merawat tanaman sayur yang telah menjadi sumber kehidupan keluarganya selama puluhan tahun.
Pagi itu, seperti biasa, hasil panennya segera diangkut menuju pasar di Ranai, Rabu (19/3/2025). Namun, di balik rutinitasnya, ada harapan besar yang terus ia nantikan—kejelasan hak kepemilikan lahan transmigrasi yang telah ditempatinya sejak 1995.
Transmigrasi Batubi: Perjuangan 30 Tahun
Marsam adalah satu dari ribuan warga yang mengikuti program transmigrasi di Batubi tiga dekade lalu. Pemerintah saat itu menjanjikan setiap kepala keluarga 3,5 hektare lahan: setengah hektare untuk pekarangan rumah, satu hektare untuk pertanian pangan, dan dua hektare untuk perkebunan kelapa sawit. Namun, impian masa depan cerah mulai pudar ketika proyek kelapa sawit yang dijanjikan gagal.
“Sebagian besar warga kini bertahan hidup dari pertanian dan perikanan. Kelapa sawit tidak berkembang sesuai harapan, banyak dari kami yang akhirnya menjadi buruh bangunan jika ada proyek di sekitar,” ujar Marsam mengenang masa-masa awalnya sebagai transmigran.
Harapan di Tangan Bupati Baru
Setelah bertahun-tahun menanti kepastian hukum atas lahan mereka, harapan itu kini menggantung di pundak Bupati Natuna, Cen Sui Lan. Ia telah berjanji menuntaskan kejelasan kepemilikan lahan transmigrasi Batubi, yang hingga kini masih menjadi sengketa.