Batam – Dalam pernikahan, ada yang namanya mahar atau maskawin. Biasanya, mahar diberikan kepada istri sebagai konsekuensi dari menikahinya.
Menurut buku Fikih Sosial susunan Abdul Aziz ibn Fauzan ibn Shalih, mahar termasuk ke dalam hak istri yang menjadi kewajiban suami. Seorang suami harus memberikan mahar secara utuh tanpa menyakiti, menahan, atau menunda-nundanya.
Dalam surat An Nisa Ayat 4, Allah SWT berfirman,
وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيٓـًٔا مَّرِيٓـًٔا
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya,”
Muhammad Jawad Mughniyah dalam bukunya yang bertajuk Fiqih Lima Mazhab menjelaskan bahwa mahar bisa berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta perdagangan, atau benda-benda lain yang memiliki harga. Mahar disyaratkan harus diketahui secara jelas dan detail, contohnya sepotong emas atau sekarung gandum.
Meski merupakan hak penuh mempelai wanita sekaligus syarat pernikahan, Islam menganjurkan agar meringankan mahar. Anjuran meringankan mahar ini tercantum dalam sebuah hadits yang berbunyi,