Oleh: Riky Rinovsky
Ketua Setya Kita Pancasila (SKP) DPD Kabupaten Natuna
Kabupaten Natuna telah genap berusia 26 tahun. Dalam ukuran usia manusia, ini adalah fase kedewasaan—masa ketika seseorang mestinya sudah mandiri, tegak di atas kakinya sendiri. Namun, apakah Natuna hari ini telah mencapai kedewasaan itu?
Di tengah deretan ucapan selamat dan euforia seremonial, wajah lain Natuna justru memperlihatkan kegelisahan. Ekonomi yang lesu, daya beli yang menurun, dan peluang kerja yang menyempit menjadi cerita nyata di balik pesta ulang tahun daerah ini.
Realitas yang tampak hari ini ibarat ironi di negeri yang kaya potensi alam. Masyarakat mengeluh karena perputaran uang terasa seret. Di media sosial, linimasa dipenuhi postingan penjualan tanah, rumah, bahkan perabot rumah tangga.
Tomi Alamsyah terpaksa menjual rumahnya, sementara Sindy Geo mengiklankan perabotan milik pribadi. Ini bukan sekadar cerita individu, tapi sinyal darurat ekonomi dari dalam rumah warga Natuna sendiri.
Masyarakat kecil di desa-desa pun bernasib serupa. Maruji, buruh pemecah batu di kawasan Air Raya, Bandarsyah, kini kehilangan sumber penghasilan.
“Hampir setahun program pembangunan yang butuh batu granit mati suri. Tidak ada pembeli. Kalau pun ada, harganya jauh dari pasaran,” keluhnya.